Home » » Dekontruksi Syari'ah, Misi Penghancuran Islam !

Dekontruksi Syari'ah, Misi Penghancuran Islam !





Sejak membanjirnya paham liberalisme keagamaan,Syari’ah mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas dari berbagai kalangan. Adanya kritikan yang tajam initidak lain, hanya bertujuan agar pemikiran liberal tersebut bisa mendapatkan ruangdalam ajaran Islam[1].Kritik yang dibangun oleh kalangan pemikir muslim liberal tersebut, dalam kenyataanya, bukannya memberikan solusi atas problematika umat Islam, justru menyisakan perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Ini karena gagasan yang mereka usung banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar aqidah dan syari’ah Islam seperti mempertanyakan otentisitas dan kesucian al-Quran, mengkritik otoritas hadits Nabi, menghujat sahabat Nabi dan para ulama[2]. Mereka beranggapan bahwa syari’ah atau yang sering mereka sebut hukum Islam sudah tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya global. Karenanya mereka mendesak syari’ah untuk direformasi agar sesuai dengan budaya global, terutama agar sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebelum lebih jauh lagi membahas masalah ini, kiranya penting untuk dipahami lebih dahulu makna dari dekonstruksi dan syari’ah itu sendiri. Dekontruksi bermakna segabai usaha untuk membongkar sebuah konsep yang terkonstruk dalam metafisika kehadiran(presence)[3]. Sedangkan syari’ah artinya hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al Qur’an dan Hadits[4]. Dan jika digabungkan arti dari dekonstruksi syari’ah tersebut, maka dapat dipahami sebagai usaha melucuti beberapa hal yang sudah disepakati para ulama terdahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan syariat Islam yang sudah mutlak.
Salah satu tokoh yang mendekontruksi syari’ah adalah Abdullah Ahmed An Na’im[5]. Ia adalah pemikir muslim terkemuka dari sudan. Ia dikenal luas sebagai pakar Islam dan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam persepsi lintas budaya. Ia pernah belajar ilmu hukum di Khartoum, Cambridge (Inggris) dan Edinberg (PhD 1976). Saat ini, ia bekerja sebagai profesor Charles Howard Candler di bidang hukum di Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat[6].
Syari’ah bagi An-Na’im merupakan formulasi historis tentang norma etika dan sosial, teori politik dan kosntitusional, serta aturan-aturan hukum perdata, pidana maupun publik yang diderivasi dari sumber-sumber Islam untuk menjawab persoalan zamannya. Sebagai produk sejarah dan tumbuh dari pemahaman manusia[7], formulasi syari’ah dapat direkonstruksi ketika dirasa sudah tidak memadai lagi bagi kehidupan modern. Jelasnya An Na’im berkata:
Shari’a is not the whole of Islam but instead is an interpretation of its fundamental source as understood in a particular historical context. Once it is appreciated that shari’a was constructed by its funding jurists, it should become possible to think about reconstructing certain aspects of shari’a, provided that such reconstruction as based on the same fundamental sources of Islam and is fully consistent with its essential moral and religious precepts”(Syari’ah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap nash dasarnya yang dipahami dalam konteks sejarah tertentu. Syari’ah yang telah disusun para ahli hukum perintis dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi itu pun didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam yang sama, dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama).[8]

Dari kutipan di atas dapat dimengerti bahwa dalam pandangan An Naim, syari’ah tidaklah bersifat ilahiah, dalam arti semua prinsip hukum dan aturan rinciannya langsung diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Syari’ah yang rinci dan detail itu menunjukkan sifatnya yang temporal dan kontekstual. Rincian tersebut merupakan bukti adanya hubungan dialogis syari’ah dengan realitas konkret masyarakat yang dihadapinya[9]. Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber syari’ah untuk merespon terhadap realitas masa lalu, karenanya harus pula menjadi sumber syari’ah modern sebagai respon realitas masa kini. Menurutnya formulasi syari’ah akan terus berlanjut hingga sekarang untuk menyesuaikan konteksnya.
Bagi An-Na’im, Syari’ah yang selama ini kita kenal, tidaklah memadai dan tidak adil, sehingga layak untuk dikoreksi ulang. dikatakan 'tidak adil' karena dalam pandangan An Na’im, beberapa aspek syari’ah, terutama yang berkaitan dengan hukum publik, terdapat diskriminasi di dalamnya. Misalnya warga muslim dianggap warga superior, sedangkan warga non muslim dianggap sebagai inferior. Selain itu, masih menurut An Na’im, Syari’ahini tidak memperlakukan perempuan setara dengan laki-lak. Hak-hak asasi kelompok-kelompok ini akan dirugikan sebagai dampak prinsip dan norma syari’ah mengenai sikap dan gaya hidup individu dan institusi serta proses sosial dalam berbagai komunitas Islam[10]. Lebih rinci An Na’im menjelaskan, syari’ah ini tidak menjamin kesetaraan bagi kaum perempuan dalam aturan perkawinan, perceraian dan warisan. Fakta tersebut jelas akan melanggar prinsip kesetaraan dan non diskriminasi yang fundamental bagi semua standar HAM.
Menanggapi gagasan An Na’im tersebut, hal pertama yang harus kita ketahui adalah cara pandang An Na’im terhadap syari’ah bertentangan dengan cara pandang mainstream umat Islam secara umum. Ia memandang syari’ah bukanlah sebagai wahyu yang datang dari Allah SWT[11]. Kedua, semua gagasan An Na’im menempatkan syari’ah berada di bawah konsep HAM[12]. Sehingga hukum-hukum syari’ah yang tidak sesuai dengan konsep HAM akan didekontruksi dengan mengreinterprestasi sumber-sumber hukum syari’ah. Dengan begitu kita akan mengetahui bahwa semua gagasan An Na’im tidak bisa diterima mentah-mentah, karena pada intinya gagasan An Na’im sifatnya hanya untuk menghancurkan hukum-hukum syari’ah yang telah ditetapkan dan disepekati para ulama-ulama salaf.
Demikianlah gagasan reformasi syari’ah yang dikumandangkan An Na’im hanya akan menjungkirbalikkan struktur epistemologi Islam. Dimana teks al-Quran dan Sunnah ditundukkan pada kehendak waktu dan tempat, pada akal dan kepentingan sesaat. Realitas sosial yang telah dihegemoni kebudayaan Barat ia jadikan standard kebenaran. Ia berada di atas segala-galanya, termasuk di atas al-Quran dan Sunnah. Akibatnya, apa pun yang tidak sesuai dengan teks realitas hari ini harus dirubah dan direinterpretasi.Wallahu ‘alam





[1]Salah satu cara agar Islam dapat difahami sesuai dengan pemikiran Barat, khususnya doktrin humanisme adalah dengan mendekontruksi syari’ah. Dan hal ini dilakukan dengan merubah  cara menafsirkan teks keagamaan. Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis), (Ponorogo: CIOS, 2008), hlm. 104
[2]Dengan menafikan otoritas ulama banyak hal yang dapat mereka lakukan. Ijtihad para ulama yang telah menentukan mana ayat muhkamat dan mana ayat yang mutasyabihat juga iktu dinafikan. Makna yang sudah pasti dalam Al Qur’an itu dicari konteksnya, akhirnya menjadi ambigu, sedangkan ayat-ayat yang mabigu yang sejalan dengan paham liberal dijadikan muhkamat. Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis), hlm. 107
[3]Makna tersebut diambil dari pendapat Derrida yang mengikuti argumentasi Heidegger yang memaknai dekontruksi dengan menggunakan istilah destruction sebagai usaha pelucutan atas bangunan pemikiran yang telah terbentuk sedemikian rupa. Adnin Armas, dkk, Pluralisme Agama (Telaah kritis Cendekiawan Muslim), (Jakarta : Insists, 2013), hlm. 129
[4]Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 626
[5]Abdullah Ahmed An-Anaim di lahirkan di Sudan pada tanggal 19 november 1964. ia menyelesaikan sekolah dasar menengah atasnya di sudan. Kemudian melanjutkan studinya di fakultas hokum jurusan pidana universitas khartum, dan di lanjutkan di ingris pada jurusan kriminologi universitas Cambridge dan mendapat gelar LLB. Dan diploma pada tahun 1973 .sedangkan gelar Doctor ia tempuh di Universitas Adinburg, Skotlandia, dan mendapat gelar Phd. Dalam bidang hokum pada tahun 1976. Setelah menyelesaikan studinya di bidang hokum, An Anaim kembali ke Sudan, mengabdi kepada bangsanya sebagai jaksa, pengacara dan dosen pada universitas khartum. Selain mengajar, naim menjadi corong pemikiran-pemikiran gurunya, Mahmud Muhammad thoha, salah satunya teori nasakh yang sebelumnya di kembangkan oleh gurunya. Menjelang1979, Naim menjadi Kepala Departemen Public di Fakultas Hukum Khartum. Ia sebagai sosok intelektual muda yang aktif dan brilian dalam berbagai diskusi dan seminar Hukum di Sudan. Selain itu juga aktif menulis berbagai artikel dalam berbagai jurnal, baik yang bersekala nasional, maupun internasional. Sekarang naim menetap di Amerika serikat. Dr. Adang Djumhur Salikin, M.A, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam islam (Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An Na’im),  hlm : 21
[6]Abdul Basith Junaidi, dkk, Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 330
[7]Syari’at, bagi An Na’im adalah hasil pemahaman manusia terhadap Al Qur’an dan Sunnah. Pemahaman manusia, baginya, tidak ada yang divine dan benar secara absolut serta mengikat. Dalam doktrin ini, semua relatif, yang absolut hanya Tuhan. Hamid fahmi Zarkasyi, Misykat “Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam”, (Jakarta : INSISTS, 2012), hlm. 229
[8]Dr. Adang Djumhur Salikin, M.A, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam islam (Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An Na’im),  hlm : 111
[9]Abdul Basith Junaidi, dkk, Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer,  hlm. 351
[10]Lihat tabel  Elaborasi Konsekuensi Gagasan An Na’im. Abdul Basith Junaidi, dkk,  Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer,  hlm. 353
[11]Dr. Adang Djumhur Salikin, M.A, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam islam (Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An Na’im), hlm : 272
[12]An Na’im menempatkan HAM di atas segalanya, termasuk syari’ah, sehingga ketika syari’ah dianggap bertentangan dengan HAM, maka ia harus diubah dan disesuaikan dengan HAM. Pandangan An Na’im seperti ini boleh jadi karena An Na’im terlanjur menerima HAM sebagai sistem norma universal yang tanpa cacat.Dr. Adang Djumhur Salikin, M.A, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam islam (Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An Na’im), hlm : 273

Written by : Your Name - Describe about you

Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur'an Amuntai.

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::

0 komentar:

Posting Komentar