Sejak
membanjirnya paham liberalisme keagamaan,Syari’ah mendapat sorotan tajam dan
kritikan pedas dari berbagai kalangan. Adanya kritikan yang tajam initidak
lain, hanya bertujuan agar pemikiran liberal tersebut bisa mendapatkan
ruangdalam ajaran Islam[1].Kritik
yang dibangun oleh kalangan pemikir muslim liberal tersebut, dalam kenyataanya,
bukannya memberikan solusi atas problematika umat Islam, justru menyisakan
perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Ini karena gagasan yang mereka usung
banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar aqidah dan syari’ah Islam
seperti mempertanyakan otentisitas dan kesucian al-Quran, mengkritik otoritas
hadits Nabi, menghujat sahabat Nabi dan para ulama[2].
Mereka beranggapan bahwa syari’ah atau yang sering mereka sebut hukum Islam
sudah tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya global. Karenanya mereka
mendesak syari’ah untuk direformasi agar sesuai dengan budaya global, terutama
agar sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebelum lebih jauh lagi membahas
masalah ini, kiranya penting untuk dipahami lebih dahulu makna dari
dekonstruksi dan syari’ah itu sendiri. Dekontruksi bermakna segabai usaha untuk
membongkar sebuah konsep yang terkonstruk dalam metafisika kehadiran(presence)[3].
Sedangkan syari’ah artinya hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia,
hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan dengan manusia dan
alam sekitar berdasarkan Al Qur’an dan Hadits[4].
Dan jika digabungkan arti dari dekonstruksi syari’ah tersebut, maka dapat
dipahami sebagai usaha melucuti beberapa hal yang sudah disepakati para ulama
terdahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan syariat Islam yang sudah mutlak.
Salah
satu tokoh yang mendekontruksi syari’ah adalah Abdullah Ahmed An Na’im[5].
Ia adalah pemikir muslim terkemuka dari sudan. Ia dikenal luas sebagai pakar
Islam dan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam persepsi lintas budaya. Ia pernah
belajar ilmu hukum di Khartoum, Cambridge (Inggris) dan Edinberg (PhD 1976).
Saat ini, ia bekerja sebagai profesor Charles Howard Candler di bidang hukum di
Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat[6].
Syari’ah bagi An-Na’im merupakan formulasi historis
tentang norma etika dan sosial, teori politik dan kosntitusional, serta
aturan-aturan hukum perdata, pidana maupun publik yang diderivasi dari
sumber-sumber Islam untuk menjawab persoalan zamannya. Sebagai produk sejarah
dan tumbuh dari pemahaman manusia[7], formulasi syari’ah
dapat direkonstruksi ketika dirasa sudah tidak memadai lagi bagi kehidupan
modern. Jelasnya An Na’im berkata:
“Shari’a is not the whole of Islam but
instead is an interpretation of its fundamental source as understood in a
particular historical context. Once it is appreciated that shari’a was
constructed by its funding jurists, it should become possible to think about
reconstructing certain aspects of shari’a, provided that such reconstruction as
based on the same fundamental sources of Islam and is fully consistent with its
essential moral and religious precepts”(Syari’ah bukanlah keseluruhan Islam itu
sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap nash dasarnya yang dipahami
dalam konteks sejarah tertentu. Syari’ah yang telah disusun para ahli hukum
perintis dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan rekonstruksi
itu pun didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam yang sama, dan sepenuhnya
sesuai dengan pesan moral dan agama).[8]
Dari
kutipan di atas dapat dimengerti bahwa dalam pandangan An Naim, syari’ah
tidaklah bersifat ilahiah, dalam arti semua prinsip hukum dan aturan rinciannya
langsung diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Syari’ah yang rinci dan
detail itu menunjukkan sifatnya yang temporal dan kontekstual. Rincian tersebut
merupakan bukti adanya hubungan dialogis syari’ah dengan realitas konkret
masyarakat yang dihadapinya[9].
Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber syari’ah untuk merespon terhadap realitas
masa lalu, karenanya harus pula menjadi sumber syari’ah modern sebagai respon
realitas masa kini. Menurutnya formulasi syari’ah akan terus berlanjut hingga
sekarang untuk menyesuaikan konteksnya.
Bagi An-Na’im, Syari’ah
yang selama ini kita kenal, tidaklah memadai dan tidak adil, sehingga layak
untuk dikoreksi ulang. dikatakan 'tidak adil' karena dalam pandangan An Na’im,
beberapa aspek syari’ah, terutama yang berkaitan dengan hukum publik, terdapat
diskriminasi di dalamnya. Misalnya warga muslim dianggap warga superior,
sedangkan warga non muslim dianggap sebagai inferior. Selain itu, masih menurut
An Na’im, Syari’ahini tidak memperlakukan perempuan setara dengan laki-lak.
Hak-hak asasi kelompok-kelompok ini akan dirugikan sebagai dampak prinsip dan
norma syari’ah mengenai sikap dan gaya hidup individu dan institusi serta
proses sosial dalam berbagai komunitas Islam[10].
Lebih rinci An Na’im menjelaskan, syari’ah ini tidak menjamin kesetaraan bagi
kaum perempuan dalam aturan perkawinan, perceraian dan warisan. Fakta tersebut
jelas akan melanggar prinsip kesetaraan dan non diskriminasi yang fundamental
bagi semua standar HAM.
Menanggapi gagasan An
Na’im tersebut, hal pertama yang
harus kita ketahui adalah cara pandang An Na’im terhadap syari’ah bertentangan
dengan cara pandang mainstream umat
Islam secara umum. Ia memandang syari’ah bukanlah sebagai wahyu yang datang
dari Allah SWT[11].
Kedua, semua gagasan An Na’im
menempatkan syari’ah berada di bawah konsep HAM[12].
Sehingga hukum-hukum syari’ah yang tidak sesuai dengan konsep HAM akan
didekontruksi dengan mengreinterprestasi sumber-sumber hukum syari’ah. Dengan
begitu kita akan mengetahui bahwa semua gagasan An Na’im tidak bisa diterima
mentah-mentah, karena pada intinya gagasan An Na’im sifatnya hanya untuk
menghancurkan hukum-hukum syari’ah yang telah ditetapkan dan disepekati para
ulama-ulama salaf.
Demikianlah gagasan reformasi
syari’ah yang dikumandangkan An Na’im hanya akan menjungkirbalikkan struktur
epistemologi Islam. Dimana teks al-Quran dan Sunnah ditundukkan pada kehendak
waktu dan tempat, pada akal dan kepentingan sesaat. Realitas sosial yang telah
dihegemoni kebudayaan Barat ia jadikan standard kebenaran. Ia berada di atas
segala-galanya, termasuk di atas al-Quran dan Sunnah. Akibatnya, apa pun yang
tidak sesuai dengan teks realitas hari ini harus dirubah dan direinterpretasi.Wallahu ‘alam
[1]Salah satu cara agar Islam dapat
difahami sesuai dengan pemikiran Barat, khususnya doktrin humanisme adalah
dengan mendekontruksi syari’ah. Dan hal ini dilakukan dengan merubah cara menafsirkan teks keagamaan. Hamid Fahmi
Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam
(Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis), (Ponorogo: CIOS,
2008), hlm. 104
[2]Dengan menafikan otoritas ulama
banyak hal yang dapat mereka lakukan. Ijtihad para ulama yang telah menentukan
mana ayat muhkamat dan mana ayat yang
mutasyabihat juga iktu dinafikan.
Makna yang sudah pasti dalam Al Qur’an itu dicari konteksnya, akhirnya menjadi
ambigu, sedangkan ayat-ayat yang mabigu yang sejalan dengan paham liberal
dijadikan muhkamat. Hamid Fahmi
Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam
(Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis), hlm. 107
[3]Makna tersebut diambil dari
pendapat Derrida yang mengikuti argumentasi Heidegger yang memaknai dekontruksi
dengan menggunakan istilah destruction sebagai
usaha pelucutan atas bangunan pemikiran yang telah terbentuk sedemikian rupa.
Adnin Armas, dkk, Pluralisme Agama
(Telaah kritis Cendekiawan Muslim), (Jakarta : Insists, 2013), hlm. 129
[4]Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 626
[5]Abdullah Ahmed An-Anaim di
lahirkan di Sudan pada tanggal 19 november 1964. ia menyelesaikan sekolah dasar
menengah atasnya di sudan. Kemudian melanjutkan studinya di fakultas hokum
jurusan pidana universitas khartum, dan di lanjutkan di ingris pada jurusan
kriminologi universitas Cambridge dan mendapat gelar LLB. Dan diploma pada
tahun 1973 .sedangkan gelar Doctor ia tempuh di Universitas Adinburg, Skotlandia,
dan mendapat gelar Phd. Dalam bidang hokum pada tahun 1976. Setelah menyelesaikan
studinya di bidang hokum, An Anaim kembali ke Sudan, mengabdi kepada bangsanya
sebagai jaksa, pengacara dan dosen pada universitas khartum. Selain mengajar,
naim menjadi corong pemikiran-pemikiran gurunya, Mahmud Muhammad thoha, salah
satunya teori nasakh yang sebelumnya di kembangkan oleh gurunya. Menjelang1979,
Naim menjadi Kepala Departemen Public di Fakultas Hukum Khartum. Ia sebagai
sosok intelektual muda yang aktif dan brilian dalam berbagai diskusi dan
seminar Hukum di Sudan. Selain itu juga aktif menulis berbagai artikel dalam berbagai
jurnal, baik yang bersekala nasional, maupun internasional. Sekarang naim
menetap di Amerika serikat. Dr. Adang Djumhur Salikin, M.A, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam islam
(Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An Na’im), hlm : 21
[6]Abdul Basith Junaidi, dkk, Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 330
[7]Syari’at, bagi An Na’im adalah
hasil pemahaman manusia terhadap Al Qur’an dan Sunnah. Pemahaman manusia,
baginya, tidak ada yang divine dan
benar secara absolut serta mengikat. Dalam doktrin ini, semua relatif, yang
absolut hanya Tuhan. Hamid fahmi Zarkasyi, Misykat
“Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam”, (Jakarta :
INSISTS, 2012), hlm. 229
[8]Dr. Adang Djumhur Salikin, M.A, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam islam
(Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An Na’im), hlm : 111
[9]Abdul Basith Junaidi, dkk, Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer, hlm. 351
[10]Lihat tabel Elaborasi
Konsekuensi Gagasan An Na’im. Abdul Basith Junaidi, dkk, Islam
dalam berbagai Pembacaan Kontemporer,
hlm. 353
[11]Dr. Adang Djumhur Salikin, M.A, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam islam
(Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An Na’im), hlm : 272
[12]An Na’im menempatkan HAM di atas
segalanya, termasuk syari’ah, sehingga ketika syari’ah dianggap bertentangan
dengan HAM, maka ia harus diubah dan disesuaikan dengan HAM. Pandangan An Na’im
seperti ini boleh jadi karena An Na’im terlanjur menerima HAM sebagai sistem
norma universal yang tanpa cacat.Dr. Adang Djumhur Salikin, M.A, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam islam
(Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An Na’im), hlm : 273
0 komentar:
Posting Komentar