Di zaman era modern sekarang ini banyak orang
berpendapat dengan menyatakan bahwa Islam harus menyesuaikan dengan kemajuan
zaman. Ajaran Islam tidak lagi sesuai dengan masa kini. Dan salah satu ajaran
dan pandangan yang harus disesuaikan dan dikaji ulang adalah pandangan Islam
tentang wanita. Jika kita ditanya kenapa Islam menindas wanita? Bukankah Islam
tidak memandang sama pria dan wanita? Wanita disuruh diam di rumah, pria yang
menjadi penguasa? Sesaat kemudian lidah kita terasa kelu. Bukan karena
kita tahu mereka benar, malah hati kita mengatakan sebaliknya, tapi karena kita
tahu harus menjawab apa?
Sikap tidak berdaya ini yang lama-lama
membuat kita akhirnya membenarkan pendapat tadi. Tidak berdaya karena tidak
tahu apa-apa. Terkadang malah tidak mau tahu apa-apa tentang Islam.
Akhirnya jadilah kita termasuk orang-orang yang meyakini Islam tidak
menghargai wanita, Islam menindas wanita. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan
derasnya kemajuan zaman. Tapi Sungguh ironis jika dibandingkan dengan
perkembangan Islam di Eropa. Islam berkembang begitu pesat. Begitu banyak orang
Eropa memeluk Islam. Kenapa bisa begitu? Padahal selama ini kita selalu
berkiblat pada peradaban Barat. Melihat mereka sebagai contoh yang tepat untuk
memperlakukan wanita. Tetapi kenapa sebaliknya? Kenapa para wanita Eropa
tersebut malah memeluk Islam? Agama yang selama ini dikatakan mengekang,
menindas dan tidak menghargai wanita? Oleh karena itu mari kita coba menoleh
sebentar, mengetahui bagaimana pandangan Islam mengenai wanita.
Pada dasarnya kedudukan pria dan
wanita dihadapan Allah adalah sama. Hanya ketaqwaanlah yang dinilai oleh Allah.
Hal ini dapat kita lihat sebagaimana di surat At Taubah :
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada
orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya
mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat
yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah
keberuntungan yang besar. (QS At taubah : 71-72)
Kedua ayat inilah yang menegaskan
samanya kedudukan pria dan wanita di hadapan Allah. Tidaklah wanita itu lebih
rendah kedudukannya daripada pria. Malah, ketika kita melihat bagaimana Al Qur’an
mengisahkan bagaimana Nabi Adam dan Hawa diturunkan ke bumi akibat
kekhilafan mereka, bukanlah Hawa yang disalahkan. Dalam Al Qur’an, dikatakan
dengan jelas bahwa keduanya sama-sama digelincirkan oleh syaitan. Sehingga
keduanya dikeluarkan dari syurga. Dan dijelaskan pula keduanya yang diperdaya
oleh syaitan dan mereka berdua pula yang harus bertanggung jawab atas kesalahan
mereka. Malah jika ditelisik lagi, maka diantara mereka berdua Nabi Adamlah
yang harus bertanggung jawab, karena beliau lalai akan janjinya pada Allah, bukan
Hawa. Jelaslah bahwa dalam Islam pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama
di mata Allah.
Dalam sejarahnya, wanita pada zaman
sebelum Al Qur’an turun, tidaklah lebih berharga daripada barang. Yang bisa
dimiliki, bisa diperlakukan seenaknya. Dan kedudukan wanita pun sangat rendah.
Saat itu jika seseorang memiliki bayi perempuan yang baru lahir, maka buat
mereka itu adalah aib. Tak sedikit anak perempuan yang lahir itu dikubur
hidup-hidup. Perempuan dewasa pun nasibnya tidak lebih baik. Seorang wanita
bisa di pergilirkan oleh beberapa pria. Bayangkan bagaimana perasaan kaum
wanita ketika Islam datang. Mereka memperoleh harga dirinya kembali. Didudukkan
sejajar dengan pria. Maka tak heran, orang-orang pertama yang memeluk Islam
sebagian dari kalangan wanita. Terlebih pengakuan terhadap wanita diabadikan
dalam Al Qur’an. Terdapat surat Maryam yang menggambarkan kesucian seorang
wanita yang shaleh. Surat An Naml, yang mengisahkan seorang Ratu Bilqis dengan
kekuasaan yang besar namun tunduk kepada Allah. Bahkan terdapat satu surat yang
memakai nama kaum wanita, yaitu surat An Nisa. Dapatkah kita temukan
penghargaan ini pada kitab suci agama lain?.
Jelas sudah bagaimana kedudukan wanita
dalam Islam. Ditempatkan dalam kedudukan sejajar dengan pria. Memiliki
kewajiban yang sama dihadapan Allah untuk berbuat kebaikan dan menolak
kejahatan, dan kewajiban ibadah yang sama. Namun dalam menjalankan kewajiban
tersebut Islam mengakomodasi keistimewaan pria dan wanita. Pria dan wanita
diciptakan oleh Allah dengan kondisi fisik, emosi dan psikologis yang berbeda.
Pria diciptakan dengan kondisi fisik yang lebih kuat, dan lebih berpikir
mengutamakan logika. Hal ini untuk mengakomodir tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan dan melindungi keluarganya. Sedangkan wanita diciptakan dengan
kondisi fisik yang tak sekuat pria, namun dengan hati yang sangat lembut dan
lebih penyayang. Naluri ini membentuk naluri keibuan yang menjadi ciri istimewa
seorang wanita. Kombinasi ketegasan pria dan kelembutan serta sifat penyayang
wanita menjadi suatu sifat yang saling melengkapi. Sebuah rumah tangga yang
terdiri dari dua sifat utama tadi akan menjadi rumah tangga yang sempurna dan
lengkap. Yang pria dituntut untuk bekerja keras mencari kebutuhan keluarga,
memimpin dan melindungi mereka. Yang wanita dituntut memelihara, membina
mendidik anak di rumah tangganya yang menguras tenaga. Keduanya sama-sama
berkorban. Inilah yang diminta oleh Islam dalam firman-Nya.
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…(Qs. An-nisa :
34)
Islam telah menempatkan pria menjadi
pemimpin bagi wanita. Bukan karena wanita lebih rendah kedudukannya, namun
karena Allah memberi kelebihan tertentu kepada pria berupa kelebihan fisik,
kelebihan ketegasan namun juga diberi tanggung jawab yang lebih berat.
Secara naluriah pun pria dibentuk menjadi pemimpin. Misalnya ketika ada
sekelompok orang tidak saling mengenal, terjebak dalam sebuah kapal yang karam,
maka prialah yang mendahulukan wanita untuk selamat. Ketika ada rumah yang
kemasukan perampok, maka anak laki-lakilah yang melindungi anggota keluarga
yang lain. Ini bukan akibat konstruk sosial seperti yang didengungkan para
feminis. Pria harus bergerak ketika ada kejadian tadi karena memang dilebihkan
oleh Allah, namun kelebihan itu pula harus mereka pertanggung jawabkan.
Ketika Islam menempatkan pria sebagai
pemimpin keluarga dan wanita sebagai pemelihara rumah tangga maka bukanlah
berarti Islam merendahkan wanita. Melihat pria sebagai pemimpin keluarga,
jangan dilihat sebagai ketentuan Islam untuk melebihkan pria. Inilah yang
banyak disalahpahami. Sering dianggap pemimpin rumah tangga itu sebagai
kemewahan atau disamakan dengan jabatan. Kita harus melihat hal ini dari
kacamata Islam. Kacamata yang menimbangkan dunia dan akhirat. Menjadi pemimpin
berarti harus berpikir keras memberikan keputusan yang terbaik bagi
keluarganya. Harus mencarikan penghidupan yang terbaik yang halal dan
mengarahkan bahtera keluarganya. Dan yang terpenting, bertanggung jawab atas
keluarganya, tidak hanya di dunia, namun terlebih di akhirat nanti. Dan memikul
beban dan mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah nanti sungguh sangat
berat. Itulah yang sering luput dari pihak yang masih salah memahaminya.
Begitu pula dengan peran wanita sebagai
pemelihara rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga bukan “pekerjaan” yang hina.
Malah sebaliknya, sangat mulia dan tidak ternilai. Bayangkan, para ibu bekerja
tanpa batasan waktu dan tanpa digaji. Namun buah yang mereka hasilkan akhirnya
luar biasa. Tak bisa dipungkiri peran didikan ibu pada tokoh-tokoh sukses. Para
ibu rumah tangga bukan saja menghasilkan pribadi, namun menghasilkan sebuah
generasi yang luar biasa. Islam tidak hanya berbicara mengenai membentuk
pribadi yang bermanfaat, namun lebih dari itu menciptakan sebuah generasi dan masyarakat
yang bermanfaat. Dan untuk membentuk masyarakat yang bermanfaat dibutuhkan
peran dari ibu-ibu rumah tangga yang luar biasa. Ibu rumah tangga ibarat tiang
dalam sebuah rumah. Peran ini menuntut totalitas dari seorang ibu rumah tangga.
Dan apabila seorang ibu rumah tangga membentuk anak-anak yang bermanfaat,
bukankah ibu tersebut turut menerima ganjaran (pahala) yang diperoleh dari
kebaikan yang dilakukan anak-anaknya. Inilah yang luput dari sebagian kita, ketika
Islam memerintahkan sesuatu maka kita hanya mempertimbangkan aspek duniawinya
saja, padahal ada aspek lebih penting, yaitu kebaikan yang diperoleh di akhirat.
Banyak hal lain yang mungkin belum kita
pahami perihal tuntunan Islam mengenai wanita. Namun hal itu dapat kita
pelajari satu persatu. Kunci memahaminya adalah, apapun ketentuan Allah itu
pasti baik, dan kita harus memulainya dengan berbaik sangka kepada Allah
dan Nabi Muhammad SAW, bahwa Islam tidak akan mendiskriminasikan wanita. Dan
dalam melihat hal yang ada haruslah melihat secara menyeluruh memakai kacamata
Islam dan dalam Islam aspeknya tidak hanya pertimbangan ganjaran dunia
namun juga akhirat. Allah memandang sejajar pria dan wanita, menciptakannya
dengan kondisi emosional dan psikologis yang berbeda-beda dengan keunggulan
masing-masing, namun memiliki hak dan kewajiban yang berbeda untuk saling
melengkapi.
Lantas dari kenyataan-kenyataan tadi
masihkah kita menggugat Islam sebagai agama yang mendiskriminasikan wanita. Jika
memang Islam mendiskriminasikan wanita, tentu Rasulullah tidak akan menyuruh
kita untuk lebih berbakti kepada ayah daripada ibu. Sebagaimana dalam Hadits
Beliau yang berbunyi :
“Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?” beliau
menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” beliau menjawab:
“Ibumu.” Dia bertanya lagi; “kemudian siapa lagi?” beliau menjawab: “Ibumu.”
Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” dia menjawab: “Kemudian ayahmu.” (Hadis Shahih Riwayat
Bukhari)
Wallahualam.
0 komentar:
Posting Komentar